Gangguan bipolar ialah gangguan kejiwaan
di mana seseorang mudah mengalami perubahan alam perasaan, dari keadaan gembia
menjadi sedih, atau sebaliknya. Gangguan ini semakin marak diperbincangkan.
Kenali gejalanya dan segera kendalikan dengan terapi yang optimal. Sebab jika
tidak segera tertangani, memperbesar resiko bunuh diri.
MENGENDALIKAN
GANGGUAN BIPOLAR
Aktris cantik asal
Amerika Serikat, Demi Lovato(19) mengakui dirinya mengidap gangguan bipolar
(GB). Dia baru mengetahui hal tersebut kala dirawat akibat penyakit anoreksia
dan bulimia, selama tiga bulan di pusat rehabilitasi Mengenang masa kecil, Demi
mengungkap jika dirinya dulit mengendalikan tindakan dan emosi. Di masa
manic(gembira), dia pernah menulis sebanyak tujuh lagu dalam waktu semalam dan
tubuhnya tetap terjaga hingga pukul 05.30.
Demi hanyalah salah satu dari sekian
banyak orang yang tidak sadar jika dirinya mengalami gangguan bipolar. Menurut
kepala Departemen Prikiatri FKUI/RCSM, dr AAA Agung Kusumawardhani, SpJK (K),
bipolar adalah gangguan kejiwaan bersifat episodic dan di tandai dengan gejalan
perubahan alam perasaan atau mood.
“Gangguan ini kronis dan berlangsung seumur hidup. Sering kambuh dalam
waktu tertentu, serta berisiko fatal,” ungkapnya pada seminar di Jakarta,
beberapa waktu lalu.
Keadaan mood pada gangguan bipolar disebut episode, yang terdiri dari
lima macam, yakni depresi, campuran, eutimia(normal), manic, dan hipomanik. Pada
wakt tertentu, pasien akan mengalami mood sedih berlebihan atau depresi. Dia
tampak kehilangan minat dan rasa senang, merasa bersalah, tidak berharga,
kelelahan, konsentrasi menurun, hingga tercetus ide untuk bunuh diri.
Di lain waktu, dia berada pada posisi kebalikannya, manic : percaya
dirinya meningkat, banyak bicara, merasa tidak membutuhkan tidur, dan melakukan
aktivitas secara berlebihan. Selain itu, pasien pun bisa mengalami campuran
antara depresi dan manic. Bahkan, tidak jarang merasakan perbahan mood yang
demikian cepat.
SERING TIDAK TERDETEKSI
Penyebab gangguan bipolar bersifat multifactor, mulai dari factor
keturunan, biologi otak, hingga stress psikososial. Riwayat keluarga menyumbang
sekitar 60-65 persen kemungkinan terjadinya gangguan ini. Umumnya, gejala
awalnya terjadi di usia remaja atau awal 20 tahun. Tidak jarang, episode
pertama baru dialami saat menginjak umur dewasa tengah atau lanjut. Gangguan
ini juga ditemukan pada anak-anak, meski jumlahnya tidak banyak.
Menurut agung kusumawardhani, diagnosis gangguan bipolar cukup sulit
ditegakkan. Pasalnya, gejala yang ditampilkan cukup bervariasi dan cenderung
tumpah tindih dengan gangguan kejiwaan lain. Tidak heran jika kemudian terjadi
misdiagnosis, yang kebanyakan mengarah kepada depresi dan skizofrenia.
“Sebenarnya prevalensi gangguan ini cukup tinggi, saying sering tidak
terdeteksi. Umur awitan(jumlah waktu ang diperlukan suatu obat untuk mulai
bekerjared) dan tampilan gejala yang berbeda-beda menjadi salah satu tantangan
dalam menegakkan diagnosis. Selain itu banyak kormobiditas atau penyakit
penyerta pada gangguan bipolar. Gangguan kecemasan merupaka kormoditas yang
paling sering mumcul,” tutur Kusumawardhani.
Berdasarkan Diagnostic dan Statistical Manual of Mental Disorders,
gangguan ini terbagi menjadi empat tipe, yakni GB I, GB II, GB not Otherwise
Specified(NOS), dan GB Cyclothymia. Gejala GB I adalah munculnya satu atau
lebih episode manic atau campuran, dan biasanya diikuti pula dengan episode
depresi mayor. Hal ini membuat kondisi pasien cukup parah dan perlu dirawat di
rumah sakit.
GB II terdiri atas satu atau lebih episode depresi mayor, lalu diikuti
sedikinya satu episode hipomanik. Namun, tidak pernah ada episode manic dan
campuran. Sementara GB NOS muncul dengan gejala bipolar, tetapi tidak memenuhi
criteria GB secara spesifik. Terakhir , GB Cyclothmia yang ditandai dengan
sejumlah episode hipomanik atau depresi, tetapi belum memenuhi criteria manic
atau depress mayor. Gejalanya masin ringan, tapi ada
kemungkinan berkembang menjadi GB I dan II.
Dilihat dari
jenis kelamin, laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama untuk terkena
gangguan bipolar. “ Perbadingan 1 : 1 pada tipe GB I, sedangkan pada GB II,
laki-laki lebih sedikit dari perempuan, yakni 1 : 2. Biasanya,manic menjadi episode pertama yang dialami laki”, sementara
perempuan mengalamai episode depresi. Jika dilihat dari sisi edukasi dan social
ekonomi, gangguan bipolar sering terjadi pada kelompok A dan B.
PERLU TERAPI OPTIMAL
Terjadinya
misdiagnosis membuat terapi sering terlambat. Pasien pun mengalami depresi
berat dan menunjukkan perilak berbahaya, baik dari dirinya sendiri maupun orang
lain. Risiko bunuh diri pun semakin besar.
“ Angka
kematian pada pasien bipolar jumlahnya 2-3 kali lebih tinggi daripada
skizofrenia. Sekitar 10-20 persen meninggal karena bunuh diri, dan sebanyak 30
persesn kasus pernah mencoba tindakan menghilangkan nyawa dirinya sendiri. Demi
mencegah kekambuhan dan risiko fatal, pasien memerlukan terapi psikofarmakologi
serta psikoterapi jangka panjang,” kata Agung.
Deteksi ini
menggunakan the mood disorder Questionaire (MDQ) bisa dilakukan untuk mengenali
gejala bipolar. Waspadai jika tampak gejala berikut, yakni perasaan gembira
yang lebih dari biasanya, cepat marah, kepercayaan diri sangat tinggi, merasa
tidak membutuhkan tidur, banyak bicara atau berbicara lebih cepat dari
biasanya, energik, pikiran berlomba, konsentrasi mudah teralih, bermasalah
dengan lingkungan social dan pekerjaan, lebih tertarik terhadap seksualitas,
suka berprilaku menimbulkan resiko, dan boros.
Dijelaskan
Agung, Kusumawadhani, ada pula rumus ‘tiga’ yang dapat digunakan untuk
memprediksinya. “ Coba perhatikan, apakah mengalami episode depresi mayor,
kegagalan pernikahan, kegagalan merespons antidepresan, atau memiliki profesi
yang berbeda atau bekerja simultan, memiliki saudara kandung(generasi pertama)
yang mengalami gangguan mood, terindikasi penyalahgunaan zat, beperilaku
impulsive, berpacaran secara simultan, terdiagnosis gangguan kepribadian, dan
menyukai benda berwarna merah. Bila memiliki tiga atau lebih dari kategori itu,
maka ada kemungkinan mengidap gangguan bipolar.”
Pemeriksaan
fisik dan wawancara klinis dengan psikiater menjadi tahap selanjutnya untuk
penegakan diagnosis. Karena kondisi pasien cenderung memburuk jika tidak
dikendalikan, tata laksana pengobatan harus benar-benar dilakukan.
Pengobatan disesuaikan dengan fase episode. Pertama, fase terapi akut
yang bertujuan mengendalikan gejala dan mencapai remisi. Obat mood stabilizer,
yakni sodium divalproat, dan psikoedukasi tentang gangguan bipolar sangat
penting pada fase ini. Kedua, fase terapi berkelanjutan, yang membutuhkan waktu
sekitar 2-6 bulan, tergantung sifat individunya. Harapannya, fase ini berakhir
pada kondisi pulih, meski tidak selalu demikian. Jika terjadi kekambuhan, harus
kembali lagi ke fase pertama. Ketiga, fase terapi pemeliharaan, yang bertujuan
menstabilkan mood, mencegah kambuh, dan memfasilitasi pasien agar kembali
merasakan hidup sepenuhnya.
Risiko gangguan bipolar bisa dikendalikan dengan diagnosis akurat dan
terapi yang optimal. Dengan begitu, kualitas pasien pun membaik. Tidak kalah penting,
dukungan keluarga dan lingkungan sekitar dapat pula mencegah kekambuhan. Berikan
rasa nyaman dan kehangatan pada pasien. Jangan sampai dijauhi, apalagi
diberukan stigma negative. (Sitti
Rahmani)
Waspadai jika tampak gejala berikut: perasaan
gembira berlebihan, cepat marah, kepercayaan diri tinggi, konsentrasi mudah
beralih, dan pikiran berlomba.
No comments:
Post a Comment